Rabu, 30 September 2009

Kejamnya Ibukota

Kejamnya Ibukota
Sudah tengah malam Mas Guru, Mbah Sastro, Lik Diman dan Pak Bowo masih ngobrol dan belum beranjak dari warung Yu Kasminah yang malam ini tampak lebih komplit. Selain kopi tubruk khas Pantura aneka hidangan juga tersedia seperti ketan anget-anget, pohong goreng alias banggreng, kue serabi dan lain sebagainya serta makanan ringan jenis mie goreng, mie rebus. Juga disediakan khusus untuk yang mau sahur ada nasi kucing ala daerah Surakarta Hadiningkrat.
Mendadak yang pada ngopi dikejutkan dengan kedatangan Pak RT menggandeng seseorang yang lama dikenal di Kampung Baru ini. Yu Kasminah tanpa dikomando lansung meloncat dari meja kasir diikuti Kang Darman suaminya sedangkan Astri dan Noorce hanya ikut-ikutan menyambut kedatangan pahlawan kesiangan ini.
“Wah ……… oo………..pai………….. pai………….. Paijo to ini ………… wah bagaimana kabarnya? Katanya di Jakarta? kerja apa di sana?” Tanya Yu Kasminah bertubi-tubi.
“Sabar ………… sabar Yu, biar Paijo duduk di samping Mas Guru,” kata Pak RT mempersilahkan Paijo.
“Nah ………. sekarang kamu boleh cerita perjalananmu dari A sampai Z Jo,” pinta Mbah Sastro.
“Tapi ……… tapi……… tapi aku diwedangi dulu t biar lancar bicaranya,” jawab Paijo terus terang.
“Ya………… ya……….. tolong Mbak Noorce, Paijo ini dibuatkan kopi tubruk kesukaannya,” perintah Kang Darman pada Noorce.
“Sekarang ceritanya bisa dimulai Jo?” kata Lik Diman dan Pak Bowo hampir bersamaan
“Setelah gagal dalam pencalonan legislatif dulu, aku mencoba untuk mengembara di Ibukota, karena hidup disini rasanya sudah malu ……,” jelas Paijo mengawali ceritanya.
“Di Ibukota nasibku tambah ngenes, melamar pekerjaan di sana-sini ditolak karena tidak punya ketrampilan. Akhirnya aku jadi gelandangan karena bekalku sudah habis. Satu-satunya penghidupan adalah mencari barang rongsokan di tempat pembuangan sampah,” sambung Paijo lagi.
“Pengalaman yang paling menyakitkan ya kemarin sore, waktu aku sedang mengais sampah yang baru datang, tiba-tiba aku dipukuli sesama pemulung lainnya,” cerita Paijo.
“Kenapa Jo……… kenapa tidak melawan. Kamu khan kamu mantan preman?” kelekar Lik Diman.
“Boro-boro melawan ……….. mereka jumlahnya puluhan, maka aku terus lari …… sampai nafas ini mau habis,” lanjut Paijo sambil minum kopinya.
“Kenapa Jo kamu kok dikejar?” Kali ini Tanya Yu Kasminah.
“Karena lokasinya aku pakai. Di kota besar seperti Jakarta tempat sampah dipetak-petak, dijadikan lahan pekerjaan. Artinya sampah-sampah itu dipilih barang-barang yang berharga lalu dijual kembali,” jelas Paijo.
“Wah ngenes juga ya mereka ……….. terus………… terus bagaimana Jo selanjutnya?” Tanya Yu Kasminah.
“Akhirnya aku menggelandang jadi pengemis dari pintu ke pintu untuk mencari sesuap nasi dan setetes air,” cerita Paijo dengan mata berkaca-kaca.
“Berarti hidup di Ibukota itu kejam ya …………. bahkan lebih kejam dari Ibu tiri,“ kelekar Kang Darman mengomentari cerita Paijo.
“Makanya kita kudu punya ketrampilan untuk menghadapi kehidupan ini, apa di sekolah-sekolah masih ada pelajaran ketrampilan mas?” Tanya Mbah Sastro sok tahu.
“Masih Mbah, di SMK ada pelajaran menjahit, otomotif, pelayaran, komputer sampai administrasi kantor. Sedangkan di SMA namanya ada pendidikan Live Skill yaitu pendidikan yang siap kerja dengan dipandu Bapak Ibu Guru atau pakar yang mumpuni,” jelas Mas Guru pamer.
“Pasti biayanya mahal ya?” tanya Pak Bowo
“Sekarang ini ada perjuangan dari pemerintah daerah untuk menggratiskan pendidikan dari SD, SMP ditambah SMA. Sebentar lagi……makanya Program Daerah Kab Rembang, Empat Pilar Bupati itu didukung, jangan diolok-olok dan di elek-elek,” Jawab Mas Guru
Semua yang mendengar pada manggut-manggut tanda setuju. Dengan ide kreatifnya orang-orang pintar, lewat majalah Pantura ini rupanya Mas Guru juga ikut-ikutan kampanye pendidikan gratis. Kemudian satu per satu mereka pada pulang kecuali Paijo yang masih menghitung waktu. (Kampoeng Baru, Agustus 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar