
Dibutuhkan Paradigma Baru dalam Mengelola Tambak Garam
Membicarakan garam seolah tak akan penah akan ada habisnya. Salah satu komoditi strategis ini merupakan produk vital yang memenuhi hajat orang banyak. Tidak hanya dibutuhkan bagi kesehatan manusia, juga untuk kepentingan industri baik ringan maupun berat, bahkan secara kuantitas jsutru lebih dominan. Industri seperti penyamakan kulit, pengasingan, pabrik es, farmasi, kimia tekstil, kilang BBM dan sebagainya, sangat bergantung pada barang berasa asin itu.
Jika diidentifikasi, banyak problematik yang melilit dan dihadapi produk garam rakyat. Secara umum problem yang dihadapi petani garam rakyat bersumber baik dari internal maupun eksternal, dalam lingkup lokal, nasional maupun global. Yang tampak ke permukaan antara lain menyangkut harga, kualitas garam yang rendah sampai membanjirnya garam impor. Pada situasi sulit sering muncul idioma ‘garam mudah dibuat tetapi sulit dipasarkan’.
Membidik permasalahan secara khusus garam rakyat di Rembang yang telah puluhan tahun dikelola, sering muncul pertanyaan mengapa tidak dapat berkembang menjadi garam industri dan cenderung tidak mampu memberi kesejahteraan hidup pada para petani garam.
Terkait dengan hal tersebut Kepala Bappeda Rembang Ir Hari Susanto MSi menyebutkan, banyak faktor-faktor melingkupi mengapa garam rakyat tidak mampu berbicara banyak di tingkat nasional. ‘Dimensi sosial budaya menyebabkan garam rakyat di Rembang tidak dapat berkembang menjadi komoditi yang marketable dan prospektif,”ujarnya.
Pada berbagai level, persoalan kualitas garam selalu menjadi isu penting yang bertendensi memenunculkan dampak strategis dan mendasar terkait eksistensi komoditi garam. Dari semua argumen yang digunakan semua bermuara sama yakni rendahnya kualitas garam rakyat. “Sehingga menyebabkan produk menjadi tidak kompetitif bahkan tidak dapat memasok segmen industri yang notabene pangsa pasar terbesar,”ungkapnya.
Sementara itu memberikan keterangan secara terpisah Kabid Pemerintahan, Sosial dan Budaya Bappeda Rembang, Sri Wahyuni SH Msi didampingi Kasubid Sosial dan Budaya, Imam Teguh Susatyo SE menjelaskan, terdapat dimensi sosial budaya yang membelit dibalik rendahnya kualitas garam rakyat yaitu terkait hubungan produksi antara pemilik lahan dengan penggarap dan antara pemilik lahan dengan makelar. “Ini tercermin dari fakta dimana pihak yang lebih merasa berkepentingan dengan kualitas garam adalah petani, pemilik lahan dan makelar yang berpengaruh secara langsung pada keuntungan yang akan diraup,”tutur Yuni.
Sementara itu Imam menyampaikan, dari unsur majikan menginginkan produk garam dilahannya berkualitas tinggi karena meyakini pada kondisi tersebut akan diperoleh keuntungan cukup besar. Sedangkan penggarap tidak ingin ,membuat kualitas baik karena pada umumnya tidak percaya jika kualitas garam yang baik akan memberi keuntungan besar pada mereka. Oleh karena itu mereka enggan membuat garam berkualitas baik sesuai keinginan majikan, pasar maupun pemerintah. “Penggarap yang justru ujung tombak produksi garam rakyat berposisi semata-mata pada produsen yang tidak bersebtuhan langsung dengan akses pasar,”paparnya.
Sikap penggarap yang tidak responsif terhadap tuntuta kualitas garam menjadi satu hal tersendiri yang menarik dan dapat menjadi pintu masuk untuk menyelasikan permasalahan rendahnya kualitas garam yang selama ini merupakan problema serius. Menurut pengakuan sebagian besar penggarap, teknis dan proses produksi garam sangat sederhana.
Menurut Parmin (46 th) salah satu penggarap tambak warga desa Sembiyan bernama Parmin (46 th) saat ditemui di lokasi lahan garam lawasan desa Punjulharjo kecamatan Kaliori. “Hanya membutuhkan lahan, air laut, tenaga dan sinar matahari,”ujar Parmin.
Padahal menurut Imam, untuk menghasilkan garam berkualitas baik perlu ditambah teknologi dan modal. “Oleh karena itu perlu paradigma baru dalam mengeloa tambak garam,”tegasnya
Stakeholder Garam Rembang Study Banding ke Sampang-Madura
Tidak ingin garam rakyat Rembang stagnan pada kualitas rendah, Pemkab Rembang melalui Dinas Pererindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menegah (Dinperindagkop dan UMKM) tanggal 19-21 Agustus kemarin mengajak 22 stakeholder garam terdiri petani, pemilik tambak, ketua kelompok tani, klaster garam melakukan study banding ke kabupaten Sampang-Madura. Dipilihnya Sampang disebabkan hasil produksi garam setempat dikenal tinggi kadar Natrium Klorida (NaCl) dan mulai merambah sektor industri.
Kepala Dinperindagkop dan UMKM Rembang, Drs H Waluyo SE MM melalui Kabid Perindustrian Drs Sudirman didampingi Kasi Perindustrian, Sulistiyo SE menjelaskan, saat berada di Sampang ternyata diketahui bahwa garam rakyat yang dikembangkan stakeholder garam di sana dikembangkan secara beda. Tambak garam dikelola secara ilmiah dengan menggunakan metode ‘meja garam’.
Dijelaskan oleh Sudirman, tambak garam di Sampang diisi air laut setinggi 20 cm kemudian dikeringkan. Setelah benar-benar kering tidak dipanen melainkan kembali diisi air laut dengan ketinggian 5 cm. Baru setelah benar-benar terbentuk kristal garam dipanen pada rentang waktu 1-2 bulan berikutnya. “Prinsipnya garam dibuat di atas kristal garam bukan di atas tanah,:turturnya.
Dari tiap petak ukuran 10 kali 20 meter, selain hasilnya meningkat dari 70 ton menjadi 90 ton/tahun, kadar NaCl juga meningkat mencapai 98 %. “Dengan kondisi kadar garam tinggi tersebut lantas diserap sektor industri karena garam lokal berkadar garam tinggi,”cetus Sudirman.
Keberhasilan petani garam di sampang sendiri tak lepas dari peran salah satu pabrikan garam Internasional asal Australia PT Cheetam Salt Australia Ltd melalui anak perusahannya yang berada di Indonesia PT Cheetham Garam Indonesia (CGI). Mereka membuat demplot tambak garam seluas 5,6 hektar berdasar teknologi yang diajarkan teknisi PT CGI tentang tata kelola tambak bersistem ‘meja garam’.
Sedangkan Sulistyo mengatakan, study banding dengan melihat langsung tata kelola tambak secara ilmiah tersebut bertujuan memberikan tambahan wawasan serta merubah pola pikir stake holder garam di Rembang agar mau melakukan hal yang sama. “Dengan melihat dan mempelajari tata kelola tambak garam secara modern di Sampang diharapkan akan terjadi alih teknologi mengacu pada teknik sama,”sebut Sulistyo.
investasi Cheetam di Rembang
Nampaknya study banding ke Sampang-Madura sudah direncanakan secara matang oleh pemkab Rembang sebelumnya telah menandatangani Nota Kesepahaman atau MOU dengan PT Cheetam Australia. Internasional yang bergerak di bidang produksi garam industri. Tujuannya adalah meningkatkan kadar natrium klorida atau NaCl garam lokal sesuai standar nasional dan internasional mengandung NaCl 97 %. Dengan kata lain, garam lokal yang semula untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan pakan ternak dapat ditngkatkan menjadi garam industri.
Menurut Kabid Perekomomian Bappeda Rembang, Drs Drupodo MSi, pemkab Rembang menandatangani MOU itu bersama Departemen Perindustrian, Departemen Kelautan dan Perikanan serta Universitas Diponegoro Semarang pada tanggal 3 Agusutus 2009 di Semarang.
Disebutkan oleh Drupodo, pada 2009 ini PT Cheetam akan membuat demplot atau lahan percontohan pengelolaan garam kualitas tinggi di lahan tambak Desa Punjulharjo, Kecamatan Rembang, seluas 10 hektar, dengan metode pengelolaan pemberdayaan. “PT Cheetam akan memberdayakan sejumlah petani garam untuk belajar mengelola lahan percontohan. Ke depan, para petani itu diharapkan mandiri dan petani-petani lain turut mengembangkan pengelolaan garam kualitas tinggi,”katanya.
Drupodo menambahkan, tahun-tahun berikutnya pemkab Rembang akan membuat demplot yang sama di desa Purworejo kecamatan kaliori dan desa Gedongmulyo kecamatan Lasem. “Masing-masing sama seluas 10 hektar, pemerintah akan menganggarkan biaya pembuatan demplot di APBD,”ungkap Drupodo.
H Rasiyadi petani garam pelopor meja garam di Rembang, “Kami Ingin Merasakan Manisnya Harga Garam”
Rencana dibentuknya demplot meja garam di Rembang sendiri mendapat reaksi dari salas satu petani dan pemilik tambak garam asal desa Gedongmulyo-Lasem bernama H Rasiyadi (46 th). Karena jauh-jauh hari sebelumnya dia sudah menerapkan manajemen air, meja garam dan penundaan panen di tambaknya meski tidak sama dengan yang dikembangkan di Sampang-Madura.
Bila di Sampang pengelolaan meja garam setebal 20 cm, Rasiyadi hanya menerapkan ketebalan 10 cm. Masa panen dilakukannya setelah meja garam berusia 10 hari sedangkan di Sampang panen sendiri dilakukan setelah 1-2 bulan meja garam terbentuk. ”Metode yang saya kembangkan juga hasil berlajar dari petani garam di Madura,”ungkapnya.
Kurang lebih 3 tahun terakhir Rasiyadi mengembangkan meja garam versinya di lahan miliknya sekitar 2 hektar yang dibuatnya menjadi 10 petak tambak garam. Masing-masing berukuran 8 X 22 meter atau seluas 176 meter persegi. “Dengan melakukan panen pada hari ke sepuluh, saya bisa panen satu petak setiap harinya,”paparnya.
Hanya saja yang menjadi pertanyaaan sekarang menurut Rasiyadi, dengan tata kelola meja garam yang dikembangkan jelas kadar NaCl tinggi diatas 98 % dan garam juga lebih bersih. Namun mengapa garam produksinya masih sebatas masuk katagori garam konsumsi belum mampu menembus pasaran industri. “Harganya tetap rendah, sama dengan garam yang dikelola secara tradisional oleh petani lain,”keluhnya.
Oleh karena itu Rasiyadi berharap, MoU antara pemkab Rembang dengan PT Cheetam tidak sebatas membuat demplot garam saja melainkan ada pembahasan dan pembicaraan terkait kerja sama mengatur harga garam. Setidaknya dibeli sama dengan garam produk Madura seharga Rp 700/kg. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, menurutnya meja garam sebagai hal percuma karena produk garam sudah berkualitas tinggi namun masih rendah harganya di pasaran berkisar Rp 2.500-3.000/kg.
“Tidak ada beda tata kelola tambak garam secara modern dan tradisional. Kami petani garam ingin sekali merasakan manisnya harga garam,”tegasnya dalam kata kiasan.
Jelang Panen Raya, Pengusaha Garam Atur Siasat
Menjelang panen raya garam bulan Oktober, para pengusaha mulai ancang-ancang menyiasati agar harga garam di pasaran tidak jatuh. Mereka ingin bertemu dan mengadalan pembicaraan dengan pengusaha garam lintas kota dan pulau membahas standarisasi agar tidak saling banting harga sehingga semua dapat memasarkan hasil produksinya.
H Pupon pemilik pabrik garam konsumsi merk ‘Apel Merah’ asal kecamatan Kaliori saat ditemui menyebutkan, menjelang panen raya harga garam di pasaran terus merambat turun, sehingga membuatnya khawatir. “Bila tidak ada kesepakatan antara pengusaha garam yang saling mendukung untuk mengendalikan harga garam, maka akan dipermainkan pemodal besar yang menguasaai pasar,”ujar Pupon.
Ke-duanya menambahkan, khusus tentang garam impor hendaknya peredarannya dipantau oleh pemerintah. Karena sekitar 70 % kebutuhan garam nasional untuk industri telah dikuasi garam impor dan belakangan ini mulai merambah 30 % peredaran garam konsumsi yang selama ini dipasok garam lokal. ”Kalau terus-terusan begini bagaimana produsen garam lokal dapat eksis,”tegas Pupon.
Ditambahkannya, seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, menjelang panen raya garam lokal kran impor garam tidak dibatasi sehingga stok para pengusaha garam lokal banyak yang menumpuk di gudang. ”Kami kalah bersaing dengan garam impor yang lebih putih dan kadar garamnya lebih tinggi,”imbuhnya.
Banyak persyaratan yang mesti dipenuhi
Kasubid Sosial dan Budaya Bappeda Rembang, Imam Teguh Susatyo menanggapi keluhan pengusaha garam mengatakan, pengusah agaram jangan hanya sekedar mengeluhkan kebaradaan garam impor yang jelas-jelas kualitasnya di atas produk lokal. Karena untuk sebatas memasok kebutuhan garam konsumsi dalamnegeri sendiri sebenarnya tidaklah gampang.
Menurut Imam, pemerintah pusat telah mengeluarkan regulasi yang harus dipenuhi persyaratannya. Melalui Keputusan Presiden (Kepres) No 69 tahun 1994 tentang Pengadan garam Iodium didalamnya diatur garam grosok tidak dapat dijual langsung ke konsumen karena kandungan NaCl dibawah syarat minimal berkadar 92,7 %.
Garam yang diperdagangkan untuk keperluan konsumsi manusia, ternak, pengasinan ikan atau bahan penolong industri pangan adalah garam yang benar-benar sudah memenuhi standarisasi yang ditetapkan oleh pemerintah. “Batas minimal yang ditetapkan pemerintah merupakan harga mati yang tidak dapat diubah. Oleh karena itu untuk keperluan konsumsi garam harus berkadar NaCl di atas 92,7 %, berkadar iodium sesuai batas minimal Standar Nasional Indonesia di atas 30 ppm,“terangnya.
Oleh karena lanjut Imam, jangankan untuk komoditi konsumsi yang diatur banyak persyaratan, jika petani, pemilik lahan, pengusaha garam ingin produknya bisa masuk pangsa industri tentu harus mau merubah paradigma pengelolaan tambak dari cara tradisional ke metode modren. “Seperti mengelola tambak garam dengan teknologi meja garam umpamanya,”kilah Imam.
Perlu Kepedulian Bersama Untuk Pemenuhan Hak Dasar Anak
Kesinambungan setelah Pemkab Rembang menetapkan 30 desa di 5 kecamatan sebagai pelaksana tahap awal Perbup Desa/Kelurahan Ramah Anak, ditindak lanjuti oleh Bappeda Rembang bekerja sama dengan Bernard Van Leer Foundatiom dan yayasan Kusuma Buana, selama 3 hari Selasa (4/8) hingga Kamis (6/8) mengadakan Seminar dan Lokakarya Multi Stakeholder Program “Early Childhood Care for Development (EECD) atau asuhan untuk tumbuh kembang anak usia dini. Kegiatan digelar di aula Bappeda diikuti 72 peserta meliputi SKPD, Depag, Camat, LSM Pendidikan dan Organisasi Masyarakat lainnya. Nara sumber pada kegiatan tersebut Kepala Bappeda Rembang Ir Hari Susanto MSi, DKK diwakili staff Titik Wahyuni SKM, Dinas Pendidikan diwakili Winaryu SPd BPMKB diwakili Rusmiyati BA, Depag diwakili Drs Jasim sedangkan dari Yayasan Kusuma Buana diwakili dr Agustini E Raintung.
Kepala Bidang Pemerintahan, Sosial dan Budaya Bappeda Sri Wahyuni SH MSi saat membuka kegiatan antara lain menyampaikan, strategi EECD memang relatif masih baru yang dikembangkan berdasarkan faktor saling berinteraksi. Faktor tersebut yakni kesehatan, gizi, perkembangan fisik, intelektual, psiko-sosial, emosional dan spritiual, ekonomi dan budaya, serta lingkungan fisik dan manusia dimana anak dibesarkan.
Semua upaya yang diterapkan dalam strategi EECD dilakukan untuk menjamin kelangsungan hidup anak, menjamin agar setiap anak mendapat perlindungan dan pengasuhan yang memadai untuk mencapai tumbuh kembang yang optimal sejak lahir hingga berusia 8 tahun.
Menurut Yuni, maksud dan tujuan diselenggarakannya seminar dan lokakarya multi stakeholder yakni untuk meningkatkan kesadaran bersama akan arti pentingnya menginvestasikan berbagai sumber daya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Memperoleh komitmen pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengimplementasikan program yang holistik dan terpadu untuk anak usia dini.
“Kegiatan ini diharapkan mampu menghasilkan sebuah rencana aksi daerah dapat menciptakan implementasi program anak usia dini yang bersifat holistik dan terpadu sebagai upaya untuk pemenuhan hak-hak dasar anak,”sebutnya.
Sementara itu Ketua Tim Pengegrak PKK Kabupaten Rembang Ny Umy Jazilah Salim dalam kata sambutannya di acara tersebut antara lain menyebutkan, pengembangan anak usia dini merupakan hal yang sangat mendasar dan strategis dalam pembangunan sumberdaya manusia. “Tidak mengherankan apabila banyak negara menaruh perhatian yang sangat besar terhadap penyelenggaraan tumbuh kembang anak usia dini,”ucapnya.
Menurut Ny Umy, masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses yang berharga untuk mengenali berbagai macam fakta di lingkungannya sebagai stimulans terhadap perkembangan kepribadian, psikomotor, kognitif maupun sosialnya. Berdasarkan hasil penelitian dari direktorat PAUD tahun 2004 bahwa sekitar 50% kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berumur 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika anak berumur sekitar 18 tahun.
Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Sehingga periode emas ini merupakan periode kritis bagi anak, dimana perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya datang sekali, sehingga apabila terlewat berarti habislah peluangnya. “Untuk itu perhatian terhadap tumbuh kembang untuk usia dini dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan atau stimulasi dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak,”ungkap Ny Umy.
Ditambahakannya, selanjutnya adalah siapakah yang berperan dan sebagai pemangku kewajiban untuk melakukan proses pengasuhan tumbuh kembang anak usia dini? Pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan tumbuh dan kembang anak usia dini adalah pemerintah (negara), masyarakat dan keluarga. “Keluarga adalah institusi pertama yang melakukan pendidikan dan pembinaan terhadap anak. Disanalah pertama kali dasar-dasar kepribadian anak dibangun dan budi pekerti juga akan didapat anak dari keteladanan sikap dari keseharian orangtua. Keluarga juga merupakan awal anak diajarkan untuk memilih kalimat-kalimat yang baik, sikap sopan santun, kasih sayang terhadap saudara dan orang lain. Didalam keluargalah proses pembangunan potensi dasar untuk membentuk generasi berkualitas mulai dipersiapkan,’papar Ny Umy.
Sementara itu lanjutnya, masyarakat juga mempunyai peran yang besar dalam tumbuh dan kembang potensi anak. Masyarakat sebagai lingkungan anak menjalani aktivitas sosialnya mempengaruhi baik buruknya proses tumbuh kembang anak, baik secara fisik maupun biologis. Masalah-masalah yang dihadapi anak ketika berinteraksi dalam masyarakat sedapat mungkin perkara negatif yang akan menjerumuskan anak akan dicegah bersama.
Disinilah peran masyarakat sebagai kontrol sosial untuk terwujudnya generasi ideal. Masyarakat yang menjadi lingkungan hidup generasi tidak saja para tetangganya tetapi juga termasuk sekolah dan masyarakat dalam satu negara. “Karena itu para tetangga, para pendidik dan juga pemerintah sebagai penyelenggara urusan negara bertanggung jawab dalam proses pendidikan generasi penerus,”kata Ny Umy.
Dari seluruh pihak yang mempunyai tanggungjawab dalam penyiapan generasi penerus suatu bangsa, tentu negaralah yang mempunyai peran terbesar dan terpenting dalam menjamin berlangsungnya proses tumbuh kembang anak sebagai bagian dari generasi penerus cita-cita bangsa. Di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 telah dengan sangat jelas dan tegas, bahwa negara bertanggung jawab atas kegiatan mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada Amandemen UUD pasal 28 b ayat 2, yaitu negara menjamin kelangsungan hidup, pengembangan dan perlindungan anak terhadap eksploitasi dan kekerasan. Tentu hal itu membawa pada konsekuensi komitmen yang mesti diupayakan pemenuhannya.
Pemerintah Indonesia telah memperkenalkan panduan stimulasi dalam program Bina Keluarga Balita (BKB) sejak tahun 1980. Program BKB merupakan upaya pemberdayaan anggota keluarga sehingga mereka dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan rangsangan positif guna menunjang proses tumbuh kembang balita secara optimal. Kemudian pada tahun 2001, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda mengeluarkan program PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Namun demikian belum menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Di dalam laporan UNESCO 2005 mengenai Pendidikan Untuk Semua, disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara terendah di ASEAN dengan angka partisipasi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) baru sebesar 20%, ini masih lebih rendah dari Fhilipina (27%), bahkan negara yang baru saja merdeka Vietnam (43%), Thailand (86%) dan Malaysia (89%).
Hadirin yang berbahagia,
Permasalahan utama terkait pengembangan anak usia dini adalah tentang terbatasnya cakupan layanan. Khususnya cakupan layanan bagi tumbuh kembang anak yang mengarah pada layanan pemenuhan kebutuhan anak secara holistik dan integrasi, yang mencakup kesehatan, gizi, pendidikan dan pengasuhan. “Karena itu perlu dukungan nyata berbagai dinas terkait dan peran serta stakeholder yang intensif,”tegsanya.
Pihaknya sendiri sangat apresiasi terhadap partisipasi dari para pihak yang turut mengembangan program PAUD di Kabupaten Rembang, baik oleh Pemerintah melalui Instansi/SKPD dan mitra-mitranya maupun Lembaga Non Pemerintah seperti Organisasi Kemasyarakatan dan Pihak Swasta, selanjutnya melalui pertemuan ini alangkah lebih baiknya jika Kabupaten Rembang mempunyai sebuah Rencana Strategis Program Pengembangan Anak Usia Dini secara holistik dan terintegrasi sehingga Visi dan Misi dari Program Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini yaitu untuk memenuhi Hak Akan Tumbuh dan Kembang Anak menjadi lebih efektif dan efisien. “Melalui forum seminar dan Lokakarya ini, kami berharap kedepan akan ada sebuah keterpaduan dan sinergisitas Program Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini di Kabupaten Rembang, yaitu Sebuah Kerjasama, Sharing Peran dan tidak ada ego sektoral diantara berbagai pihak pengelola maupun mitra dalam pengembangan Program PAUD,”imbuh Ny Umy. .
Beberapa waktu yang lalu juga telah diadakan workshop serupa di Kabupaten Rembang, dalam wokshop tersebut telah dilakukan komunikasi awal dalam penggalian gagasan untuk pengelolaan PAUD yang holistik dan terintegrasi. Kegiatan kali ini diharapkan makin menajamkan apa yang telah dicapai pada wokshop terdahulu, untuk lebih lanjut dapat dikembangkan rencana strategis dan model diterapkannya program anak usia dini yang holistik dan terpadu.Karena didukung oleh calon mitra lagi yang hadir memfasilitasi seminar dan workshop yaitu Lembaga Non Pemerintah (NGO) Internasional Bernard van Leer Foundation bekerja sama dengan Yayasan Kusuma Buana dan Project Concern International (PCI) Indonesia.
Kunjungi Rembang, Perwakilan UNICEF Dokumentasikan Peredaran Garam Beriodium
Dorothy Foote warga negara Amerika perwakilan UNICEF (Orgainsasi Dunia Bidang Anak yang bernaung dalam PBB) selama 3 hari, 10-13 Agustus berkunjung ke kabupaten Rembang. Kedatangannya di Rembang guna mendokumentasikan peredaran garam beryodium, hal ini terkait dengan ditetapkannya kabupaten Rembang sebagai pilot project peredaran garam berkadar iodium sesuai Standar Nasional Indonesia, di atas 30 ppm.
Armunanto perwakilan UNICEF Jawa tengah selaku pendamping, saat dihubungi seputar kegiatan Dorothy di Rembang menerangkan, dalam kunjungannya perwakilan UNICEF tersebut mengumpulkan gambar hasil pemantauan dan mengumpulkan laporan penting lainnya terkait peredaran garam beriodium di kabupaten Rembang. Dimana hasilnya nanti akan diterbitkan sebagai dokumen resmi UNICEF. ”Bu Dorothy bertugas mengumpulkan dan mengidentifikasikan laporan dan gambar peredaran garam beriodium di Rembang. Hasuilnya akan dibuat klaporan setebal 8 halaman yang akan digunakan sebagai acuan kegiatan sama di lain propinsi bahkan di negara lain,”ujarnya.
Ditambahkan oleh Armuannto, kunjungan hari pertama Senin (10/8) Dorothy ’turba’ ke desa-desa terpencil di kecamatan Pamotan dan Sedan, melakukan pemeriksaan peredaran garam beryodium dan tingkat asupan garam beryodium di beberapa rumah warega.
Hari ke-dua Selasa (11/8) didampingi Tim Gakkum Garam melakukan pemantauan di Pasar Rembang dan pabrikan garam. Memeriksa sample produk garam yang beredar untuk memastikan berapa kadar yodiummya.
Sedangkan hari ke-tiga Rabu (12/8) Dorothy menerima paparan hasil operasi pasar Tim Gakkum Garam seputar hasil operasi lapangan peredaran garam beryodium kurun waktu tahun 2004-2009.
Terpisah, Kasubid Sosialdan Budaya Bidang Pemerintahan, Sosial dan Budaya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Rembang, Imam Teguh Susatya SE menyebutkan, Rembang termasuk salah satu kota di propinsi Jawa tengah yang telah menjalin kerja sama dengan UNICEF dalam beberapa bidang. ”Pada Pernyataan dukungan bersama 14 Gubernur dan DPRD Provinsi lokasi program kerja sama dengan UNICEF periode 2006–2010, yang ditandatangani pada tanggal 27 Januari 2006. Kabupaten Rembang merupakan salah satu daerah binaan Unicef,”terangnya.
Salah satu bidang yang masuk dalam klausul kerja sama dengan UNICEF yakni Kesehatan dan Gizi, meliputi kegiatan kesehatan ibu dan bayi baru lahir, manajamen terpadu balita sakit, ASI eksklusif, garam Iodium, posyandu dan penanggulangan flu burung. ”Bentuk real kegiatan fokus pada pengelolaan program kesehatan dan gizi, kegiatan garam beriodium untuk semua (GABUS) yang dilaksanakan dengan pendekatan tim penegakkan hukum peredaran garam beriodium dan gangguan akibat kekurangan Iodium (GAKY),”caetusnya.
Ket gambar: Dorothy sidak di Pasar Rembang
Rembang Terima Alokasi PNPM-MP Rp 26,9 M
Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) tahun 2009, Kabupaten Rembang menerima alokasi sebanyak Rp.26,9 milyar untuk 12 kecamatan. Dengan rincian Rp 21,5 milyar bersumber dari DIPA-APBN, dan Rp 5,4 milyar bersumber dari APBD Kabupaten Rembang tahun 2009. Demikian dikatakan Bupati Rembang H Moch Salim dalam sambutan tertulis yang dibacakan Asisten Pemerintahan Supraja SH pada launching Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan Kabupaten Rembang 2009 baru-baru ini di pendopo Kabupaten.
Disebutkan, PNPM Mandiri mempunyai sinergitas dengan 4 pilar program strategis Kabupaten Rembang. Oleh karena itu pihaknya meminta, akselerasi pengentasan kemiskinan dan pengangguran dapat lebih memperoleh peluang untuk dapat diwujudkan, utamanya dengan adanya Gerakan Pengembangan Ekonomi Lokal (Gerbang Elok).
”Gerbang Elok memberikan kesempatan kepada seluruh masyarakat Rembang untuk dapat mengembangkan kewira-mitrausahaan dalam rangka meningkatkan produktifitasnya, sehingga akan mengurangi pengangguran,”sebut Supraja.
Lebih lanjut dibacakanoleh Supraja, sikap Pemkab Rembang terhadap kemiskinan dan pengangguran adalah tegas dan mempunyai komitmen yang tinggi. Yakni Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) adalah pedoman guna merancang berbagai program untuk saudara-saudara kita yang berada di bawah garis kemiskinan, dengan pendekatan pro-poor dalam merumuskan budgeting. ”Sehingga secara sistimatis angka penurunan kemiskinan dan pengangguran di Kabupaten Rembang dapat turun secara signifikan,”ucapnya.
Sementara itu Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, Prof Dr Singgih Tri Sulistyono MA pada kesempatan tersebut mengatakan, pendidikan kewirausahaan perlu diberikan kepada generasi muda sedini mungkin. Sebagaimana pendidikan etika, kewirausahaan tidak harus selalu diberikan dalam bentuk teoritik tetapi menginternalisasikan nilai-nilai kemandirian, keperwiraan, kewirausahaan dalam kehidupan.
Kegiatan tersebut dihadiri Kepala SKPD se-Kabupaten Rembang, Tim Koordinasi PNPM Mandiri Perdesaan Kabupaten Rembang, PJOK PNPM Mandiri Perdesaan Kabupaten Rembang, UPK PNPM Mandiri Perdesaan dari Kecamatan Wonosalam Kab. Demak, Fasilitator PNPM serta tamu undangan.
Dinas Sosial Prop Jateng Kucurkan 2 Milyar Bagi KK Miskin di Kabupaten Rembang
Dinas Sosial Propinsi Jawa tengah pada Program Pemberdayaan fakir miskin (P2FM) di kabupaten Rembang tahun 2009 ini mengucurkan anggaran sebesar Rp 2 Milyar bagi 1.000 KK miskin. Semuanya merupakan wargamiskin yang tergabung dalam 100 kelompok usaha bersama (KUBE) di wilayah kecamatan Kaliori dan Bulu. Hal tersebut disampaikan Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Rembang, Pandu Marhaendra Bhakti Prasetya pada acara pemantapan KUBE di balai desa Babadan kecamatan Kaliori belum lama ini.
Pandu menyebutkan, program P2FM merupakan upaya untuk mengentaskan masyarakat miskin dari keterpurukan ekonomi. Dana yang dibagikan bagi kelompok nantinyadiperuntukkan usaha ekonomi produktif seperti penggemukan sapi, peternakan sapi, maupun peternakan kambing. Pencairan Program P2FM kabupaten Rembang bagi 1000 KK di wilayah kecamatan kaliori dan Bulu rencananya akan dicairkan pada bulan Oktober mendatang. “Dana sifatnya bergulir, setelah dikelola satu kelompok, selanjutnya harus diberikan kepada kelompok KUBE lainnya,”kilahnya..
Sementara itu Kepala Seksi Pemberdayaan Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah Wibowoyang hadirpada kegiatan tersebut mengungkapkan, sebelumnya pada tahun 2008 kabupaten Rembang juga mendapatkan program pemberdayaan masyarakat miskin bagi 400 KK miskin di kecamatan Sulang dan kecamatan Sumber. Sehingga pada tahun ini diberikan pada dua kecamatan lain yang mempunyai warga miskin banyak yang memenuhi kriteria menerima bantuan yakni kecamatan Bulu dan Kaliori.
Balai Konservasi Borobudur Teliti Metode Rekonstruksi Perahu Kuno
5 peneliti dari Balai Konservasi Borobudur selama 3 hari/ Sabtu hingga Senin. (15-17/8) melakukan penelitian lokasi temuan perahu kuno yang oleh para arkeolog dinamakan Situs Punjulharjo. Kali ini penelitian dilakukan sebagai persiapan rekonstruksi perahu kuno yang dalam waktu dekat segara dilaksanakan.
Yustinus Sunarto, salah satu tim peneliti yang memiliki bidang khusus seluk beluk tentang kayu, saat ditemui dilokasi menjelaskan, kegiatan tim antara mengambil sampel seluruh bagian kapal untuk diteliti tingkat kelapukannya. Kemudian diperiksa di laboratorium dan hasilnya dibahas bersama dengan tim arekolog.
Yustinus mengisyaratkan bahan perahu kuno sebagai kayu sakit sehingga diperlukan formula khusus untuk membuatnya kuat ketika nanti diangkat guna keperluan konservasi. ”Ibaratnya kayu perahu ini adalah barang sakit. Sehingga perlu diteliti tingkat kelapukannya, dicarikan formula agar membuatnya kuat, agar tidak pecah ketika nanti diangkat untuk penelitian lebih lanjut,”terangnya.
Sementara itu memberikanketerangan terpisah, penelitilain bernama Iskandar, sehari-hari bertugas Kepala Seksi Pelayanan Teknis Balai Konservasi Borobudur menjelaskan, untuk konservasi diperlukan instrumen pendukung lain hasil analisis klimatologi. Antara lain arah angin, tingkat kadar garam air, daya serap tanah dan semua hal yang berkaitan lingkungan situs perahu. “Semua menjadi catatan penting, karena langkah rekonstruksi selain mengutamakan kondisi perahu juga bergantung pada lingkungan sekitar situs,”ungkapnya.
Sementara Heni Kusumawati selaku ketua tim peneliti saat ditemui menegaskan, upaya rekonstruiksi perahu nantinya melibatkan berbagai ahli disiplin ilmu. Semua membuat analisis untuk dipadukan. Kemudian dirumuskan bersama guna menentukan metode pengangkatan perahu. “Dua opsi yang mungkin dilakukan ke-depan terkait temuan perahu yakni kapal diangkat kemudian dilakukan rekonstruksi menggunakan kayu tambahan sejenis atau diangkat dibiarkan dalam kondisi semula, kemudian dibuat replikanya,”papar Heni.
Tunggu pengungkapan sejarah situs punjulharjo
Sekretaris Daerah Kabupaten Rembang,H Hamzah Fatoni SH MKn sendirisaat dikonfirmasi perkembangan penelitian situs Punjulharjo menjelaskan, penelitian yang dilakukan oleh para peneliti adalah sebagai persiapan rekonstruksi perahu kuno dalam waktu dekat ini. Pemkab Rembang sangat apresiasitif kepada tenaga ahli atau peneliti yang membantu mengungkap berbagai identifikasi situs yang dibutuhkan bagi kepentingan masyarakat, khususnya Rembang dan Indonesia pada umumnya.
Pemkab Rembang berharap pengungkapan fakta sejarah situs Punjulharjo yang sekarang terus dilakukan, tidak hanya berhenti pada motif perahu saja melainkan sampai latar belakang keberadannya di kawasan Punjulharjo. “Pengungkapan latar belakang adanyaperahu di Punjulharjoa sangat penting untuk diketahui guna mengungkap apakah kapal terdampar atau sengaja merapat.. Atau dimungkinkan Rembang memiliki sebuah tempat yang dituju, seperti pusat pemerintahan- perdagangan atau budaya,”cetus Sekda Rembang.
Banyaknya cerita kesejarahan dilepas pantai Rembang, selain ditemukan kapal perang karam di dasar laut, penemuan situs Punjulharjo dan barang bersejarah lainnya menambah keyakninan bahwa di perairan Rembang masih banyak peninggalan lain yang belum diketahui dan diketemukan.