Senin, 17 September 2012

24 Pasangan Nikah Sirri Dinikahkan Ulang Oleh NU



Manusia sebagai mahluk sosial selalu hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antar manusia, antara lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani.
Interaksi manusia dalam masyarakat melahirkan berbagai hubungan, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat kolektif. Salah satu hubungan manusia yang individual adalah hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita dalam ikatan perkawinan. Perkawinan di Indonesia diatur oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan UU tersebut perkawinan di definisikan sebagai “ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karenanya dalam UU yang sama diatur bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. UU Perkawinan sendiri penafsiran resminya hanya mengakui perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama dan kepercayaan yang sama dari dua orang yang berlainan jenis yang hendak melangsungkan perkawinan, serta telah dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, demikian yang diungkapkan Ketua Panitia Drs. Arif S Purwanto didampingi sekretaris Abdul Baasith.
Sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan, maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Karena sudah dianggap sah, akibatnya banyak perkawinan yang tidak dicatatkan. Bisa dengan alasan biaya yang mahal, prosedur berbelit-belit atau untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman adiministrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah Perkawinan Bawah Tangan (Nikah Syiri’).
Perkawinan bawah tangan atau yang dikenal dengan berbagai istilah lain seperti ‘kawin bawah tangan’, ‘kawin siri’ atau ‘nikah sirri’, adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi non-Islam).
Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah ‘kawin bawah tangan’ dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan.
Meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata hukum.
Perkawinan bawah tangan ini berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial.
Secara hukum :
1. Istri dari pernikahan sirri tidak dianggap sebagai istri sah;
2. Tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia;
3. Tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan ini dianggap tidak pernah terjadi;
Secara sosial: perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan akan sulit bersosialisasi karena sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau dianggap menjadi istri simpanan.
Sementara terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni:
1. Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya. Di dalam akte kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi anak dan ibunya.
2. Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya.
3. Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya
Sedang bagi diri laki-laki atau suami yang menikah bawah tangan dengan seorang perempuan ini hampir tidak memiliki dampak mengkhawatirkan atau merugikan. Yang terjadi justru menguntungkan dia, karena:
1. Suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang di bawah tangan dianggap tidak sah dimata hukum
2. Suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah baik kepada istri maupun kepada anak-anaknya
3. Tidak dipusingkan dengan pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain
Untuk itu, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Rembang, dalam rangka mengeliminer praktek pernikahan di bawah tangan (sirri) dan pasangan kumpul kebo telah menyelenggarakan Nikah Masal atau dengan kata lain “NIKAH BERKAH BERSAMA KIYAI”. Kegiatan ini juga dilakukan untuk menfasilitasi masyarakat yang hendak melakukan perkawinan ulang karena nikah sirri.
Kegiatan Nikah masal ini didasari suatu pemikiran :
Pertama, bahwa pembentukan keluarga sebagai pondasi yang mendasar untuk terciptanya tatanan kehidupan masyarakat harus dilakukan dengan ikatan pernikahan.
Kedua, bahwa nikah dalam Islam adalah suatu bentuk ibadah yang mudah, penuh berkah, murah dan dapat menghindari fitnah.
Ketiga, bahwa hubungan laki-laki dan perempuan baik dilahirkan anak ataupun tidak, adalah mempunyai akibat hukum yang amat luas dalam kaitannya dengan ketertiban umum dalam masyarakat. Karena itu perlu dilakukan pernikahan, dan pernikahan itu harus dicatat oleh pejabat yang berwenang.
Keempat, bahwa dalam masyarakat di sekitar kita masih ada orang-orang yang sebenarnya sudah harus menikah, tetapi karena sesuatu hal atau karena faktor keterbatasan beaya terpaksa hidup serumah tanpa melakukan ritual nikah, yang keadaan seperti itu tentu merupakan problem sosial yang berpengaruh buruk pada kehidupan masyarakat secara umum.
Kegiatan yang kita beri nama “NIKAH BERKAH BERSAMA KIYAI” ini merupakan bakti sosial Nahdlatul Ulama kepada masyarakat Kabupaten Rembang agar terbina tatanan masyarakat yang aman, nyaman dan sejahtera dengan terbangunnya suatu pernikahan yang sah menurut tuntunan agama dan hukum negara.
Kegiatan nikah masal ini bertujuan :
1. Menggugah kesadaran masyarakat untuk melangsungkan pernikahan sebagai salah satu sunah Rosul yang idealnya harus dilaksanakan secara terang-terangan dan semarak.
2. Membantu anggota masyarakat yang merasa kurang mampu untuk melaksanakan pernikahan yang sah menurut syari’at Islam dan undang-undang Negara.
3. Menciptakan keluarga-keluarga sakinah yang pada gilirannya dapat menentramkan masyarakat.
Pelaksanaan nikah bersama kiyai ini diikuti oleh 24 pasang partisipan dan 1 pasang partisipan tidak dapat mengikuti akad nikah secara bersama pada tanggal 23 Januari 2010 yang lalu, dikarenakan masih dalam masa iddah. Dari 24 pasang partisipan 22 pasang sebelumnya telah melakukan nikah sirri dan telah memiliki anak, hanya 2 pasang partisipan yang masih berstatus jejaka dan perawan, kedua pasang ini berasal dari kecamatan Sarang. Diantara peserta yang tertua berusia 76 tahun dan peserta termuda berusia 22 tahun. Banyak persoalan yang muncul di lapangan, walaupun panitia telah mencari hari terbaik dan bulan terbaik untuk nikah, yaitu tanggal 7 Shafar 1431 H, namun masih saja ada kendala dalam prakteknya, seperti :
1. Adanya rasa malu untuk mengikuti nikah secara masal
2. Masyarakat masih menganggap tabu dan berasumsi negatif terhadap kegiatan masal, apalagi berkaitan dengan nikah.
3. Adanya keadaan masih terikat perkawinan dengan orang lain
4. Adanya ketidaksesuaian hari pelaksanaan nikah dengan “weton”
Kegiatan Nikah masal ini sudah ketujuh kali dan secara rutin telah dilakukan oleh Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Rembang setiap tahunnya. Untuk proses rekrutmen peserta nikah masal ini, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Rembang melalui panitia telah melakukan kerjasama dengan Departemen Agama Rembang untuk mencari peserta dan membantu mempermudah kelengkapan administrasi nikah.

Tidak ada komentar: