
Siswa siswi di sebuah sekolah dasar sedang diperintah oleh gurunya untuk menggambar sepeda onthel. Mereka diberi kebebasan menggambar sepeda jengki, sepeda mini atau sepeda anak-anak.
Setelah satu jam berlalu, siswa mengumpulkan hasil karyanya. Setelah diperiksa sang guru, maka tiba-tiba guru berdiri dan minta perhatian anak-anak.
“Anak-anak, berapakah roda sepeda?” tanya bu guru.
“Duaa......!” jawab mereka serempak.
“Kenapa si Ratna menggambar sepeda yang rodanya ada lima? Kenapa Ratna?” tanya Bu Guru pada Ratna yang ternyata menggambar sepeda dengan roda yang berjajar-jajar hingga lima roda.
“Saya pernah melihat sepeda rodanya banyak Bu. Bagus kok!” kata Ratna sedikit membela diri.
“Iya, tapi sepeda itu harusnya rodanya dua!” tegas Bu Guru.
Peristiwa di atas tampaknya umum terjadi di sekitar kita. Anak-anak sering disalahkan jika mereka lebih kreatif dibanding lainnya. Menggambar sepeda beroda lima adalah langkah kreatif. Apalagi kenyataannya sepeda roda lima itu memang ada. Yang membuat sepeda roda lima adalah orang-orang kreatif pula. Guru yang mudah menyalahkan anak kreatif demikian tentunya menjadi bumerang bagi perkembangan anak-anak selanjutnya.
Sebuah contoh lagi, ada anak yang menggambar daun berwarna merah, atau kuning, atau warna lain. Guru menyalahkan, menurutnya daun itu berwarna hijau. Gunung, langit dan laut itu berwarna biru. Jika ada guru macam begini, kepala sekolah mestinya segera menyekolahkan guru tersebut ke jenjang yang lebih tinggi agar melek pengetahuan kesenian dan psikologi anak-anak.
Pendidik yang hanya memahami pengetahun secara hitam putih tentu tidak menyadari bahwa daun bisa berwarna kuning kemerahan jika terkena sinar matahari pagi atau sore. Jika sinar itu teramat terang, daun bisa berwarna putih kekuningan. Gunung bisa berwarna gelap kecoklatan jika sudah sore. Langit bisa berwarna macam-macam jika menjelang sunrise (matahari mulai muncul di pagi hari) dan ketika sunset (matahari hendak terbenam. Dan lain sebagainya.
Pelajaran kesenian memang tidak bisa disamakan dengan pelajaran sains yang lebih realistis. Walaupun sesungguhnya dengan kesenian bisa menyibak sesuatu yang realistis menjadi lebih realistis namun indah. Seperti birunya langit tadi, bisa dibuat berwarna-warni seperti jingga, semburat merah, coklat, kuning, bahkan pelangi. Sebuah keindahan yang selalu kita temui alias realistis namun sangat indah. Dan kerapkali kita lupa berfikir mencernanya. Bukankah keindahan itu adalah sebuah pesan bahwa Tuhan itu indah?
Perlu Guru Khusus Menggambar
Pelajaran Kesenian ada kurikulumnya. Dan sebaiknya guru untuk bidang kesenian, termasuk menggambar ini harus ada gurunya sendiri. Bukan guru umum yang mencakup segala pelajaran.
Keunikan dari seni menggambar adalah kesulitannya menentukan nilai. Gambar siswa tidak bisa begitu saja dinilai dengan angka 6 yang kurang bagus dan 9 yang gambarnya bagus. Gambar bersifat sangat subyektif. Ketika orang melihat gambarnya si A bagus, belum tentu bagus menurut B. Pengetahun seperti inilah yang sepertinya kurang dipahami guru.
Jika guru ingin mencoba fokus dalam mengarahkan gambar siswa, tentukan temanya ketika memerintahkan siswa menggambar. Misalnya menggambar mobil saja. Tentukan pula bahwa mobilnya harus ada sopirnya atau tidak. Jika guru tidak menentukan tema alias membebaskan siswa menggambar apa saja, maka semua gambar siswa harus dinilai bagus semua.
Menggambar itu Penting
Menggambar bukanlah mencetak siswa kelak menjadi pelukis semua. Teman saya seorang pelukis tenar dari Sluke, Chamim menerangkan maksud dari pelajaran menggambar lebih pada melatih anak-anak menggunakan otak kanan. Selama ini otak kiri selalu dipakai untuk memikirkan pelajaran serta menghafal. Maka menggambar bermaksud melatih otak kiri dan otak kanan sekaligus. Otak kiri lebih pada hafalan dan teori, otak kanan lebih menekankan praktek, seni dan kreativitas. Maka melatih menggambar sejak TK hingga SMA sangat dianjurkan.
Yang juga perlu ditekankan disini adalah jangan sampai ada pelabelan siswa oleh guru. Misalnya siswa A gambarnya bagus, siswa B gambarnya jelek. Jangan pernah terjadi. Biasanya ini terjadi karena guru merasa lebih tahu tentang murid-muridnya.
Untung Ada Batik
Syukurlah di Rembang ini ada seni batik. Dinas pendidikan telah memasukkan seni membatik di sekolah-sekolah sebagai muatan lokal. Walaupun masih terbatas di beberapa sekolah, kelak di setiap sekolah SD di Rembang ini bisa menerapkannya sebagai muatan lokal. Karena dalam membatik membutuhkan kreativitas dan kesabaran yang tinggi. Karena ini adalah ranah seni, bisa jadi membatik tidak hanya untuk perempuan, namun laki-laki pun bisa. Apalagi batik Indonesia telah diakui oleh badan dunia UNESCO.
Menurut Chamim, berkreativitas sejak kecil akan tertanam di otak anak dan terbawa hingga dewasa kelak. Anak-anak yang sudah terbiasa berkreativitas sedari kecil diharapkan ketika dewasa lebih mudah menemukan segala solusi dalam segala aspek kehidupannya. Kelak ia tidak mudah stress, jiwanya hidup. Jiwa sosialnya pun terasah dengan baik, karena tidak melulu mempertimbangkan untung rugi dalam menakar tindak tanduknya di tengah masyarakat.
Maka janganlah mudah melabeli siswa. Karena siswa adalah anak-anak yang sedang berproses. Kiranya tidak perlu diingatkan berkali-kali, walaupun kita ini bangsa pelupa. Bahwasannya sering terjadi siswa-siswi ketika kecil nakal atau bodohnya bukan main. Ketika kita bertemu kembali ketika sudah besar, ternyata sangat berbeda sekali. Ita tidak tampak bodoh, namun justru menjadi orang yang paling berhasil di antara teman-temannya yang konon lebih pandai. (*)