Rabu, 08 Juli 2009

KHAS REMBANG

Manisnya Rejeki Dari Gula Siwalan
REMBANG adalah salah satu penghasil gula tebu terbesar di Jawa tengah, akan tetapi ada yang terlewatkan dan terabaikan dari produk lokal yaitu gula legen/gula siwalan. Sekarang menjadi makanan khas Rembang. Gula legen/siwalan dibuat dari pohon Bogor / siwalan yang tumbuh di pinggir sawah atau tegalan milik petani. Pohon Bogor mempunyai ketinggian 5 meter bahkan lebih. Pohon ini , mempunyai ciri ciri mirip pohon kelapa. Batang pohon berdiameter diatas 50 cm, kulit kasar, daun lebih lebar. Pohon ini tumbuh di daerah tropis. Banyak manfaat yang diambil , diantaranya : Daunnya dibuat kerajinan atau anyaman, dibuat ketupat, dumbeg(jajanan khas Rembang dari tepung dan gula siwalan). Buah siwalan bisa dibuat campuran kolak, es, puding, jus dll. Batang pohon, dipakai untuk membuat rumah, kerajinan, dan kayu bakar. Yang tak kalah menariknya adalah keluarnya Legen ( tetesan air dari manggar siwalan ), yang dapat diminum dan dibuat gula siwalan. Legen adalah termasuk minuman tradisional khas Rembang, sehingga bisa dibuat gula siwalan. Dan Gula siwalan menjadi makanan khas Rembang yang wajib dilertarikan. Legen sangat gampang diperoleh di Kecamatan : Sulang, Pamotan, Bulu, Sumber, Rembang kota dan Kaliori. Sedang penjual legen , bisa dijumpai di sepanjang jalan Rembang Blora, Sulang Sumber, dan Landoh Sumber. Gula siwalan hanya daerah tetentu saja yang memproduksi, itupun masih dalam industri rumah tangga, seperti di Bogorame Kecamatan Sulang.
Berikut liputan Pantura Pos, ketika proses pembuatan gula siwalan di desa Bogorame Kecamatan Sulang.

Sabar dan Teliti
Jayin (55) dan istrinya yaitu Sumini (45), adalah pembuat gula siwalan. Ketika ditemui Pantura Pos, Jayin dan istrinya secara bergantian menceritakan proses pengambilan legen sampai pembuatan gula siwalan sampai rampung. Menurutnya, diawali dengan memasang bumbung (wadah dari potongan bambu), untuk disadap, setelah terisi dilakukan pengambilan Legen dari atas pohon. Hal in ini dilakukan sehari 2 kali yaitu pagi dan sore. setelah bumbung diturunkan , kemudian di bawa pulang. Jayin sendiri mempunyai 30 pohon siwalan di sawah dan tegalannya.
Setelah dibawa pulang, legen dituang ke dalam panci besar/kuali. Letakkan kuali yang berisi legen diatas tungku, untuk proses penggodokan. Sebelum dimasak, legen diberi sedikit gamping, kemudian dimasak sampai mendidih. Selama dalam kuali besar , aduklah terus sampai benar benar matang, selama 1 atau 2 jam. Jadilah gula cair yang biasa disebut Juroh.
Proses yang terakhir adalah mencetak gula, dari daun bogor. Alat cetak dibuat melingkar, kira kira berdiameter 10 cm, atau ukuran disesuaikan. Caranya adalah meletakkan alat cetakan gula diatas papan, pakailah alas dari plastik/ daun pisang, biar tidak lengket dan gampang diambil. Letakkan panci kosong diatas tanah, kemudian ambilah gula cair yang mendidih dari atas tungku dan masukkan dalam panci kosong tadi , aduk terus. Selama dalam pencetakan, gula cair harus tetap panas. Sebab bila dingin/suhu turun gula cair tidak akan bisa dicetak malah mencair sehingga tidak bisa mengeras. Setelah selesai, dinginkan dan tunggu seperempat jam, maka jadilah Gula Siwalan. Jayin sendiri menekuni pembuatan gula siwalan, sudah sejak jaman buyut dan simbahnya, dan sudah turun temurun.
“Kula saged damel gula sampun dangu, wekdal taksih alit sampun diajari damel gula. Kula kedah sabar , rikala damel gula siwallan. Tapi menawi disade koq mboten sepiro regine, mboten cekap kangge kebutuhan, padahal rekosone mboten karuan” ungkap Jayin.
Sekarang ini harga gula siwalan Rp 7500/kg, tetapi ketika sudah musim pembuatan gula hanya Rp 5000/kg.Setiap hari maksimal hanya dapat 10 kemplong atau cetakan. Bila sudah musimnya, legen gampang didapat dan hasilnya diperoleh 3 kali lipat . Menurut Jayin, pohon bogor ada 2 yaitu pohon jantan bisa menghasilkan legen, dan pohon betina yang dapat menghasilkan buah siwalan dan legen. Buah siwalan hanya 1 musim saja, tetapi Legen bisa diperoleh 2 musim, baik penghujan atau kemarau. “Memang tidak seberapa hasil dari pembuatan gula, tetapi bisa buat tambahan kebutuhan sehari hari” kata Jayin. Santoso

Ada Legenda, Legen Tanjung Tidak Bisa Dibuat Gula?
INILAH kenyataan yang terjadi di desa Tanjung Sulang. Desa Tanjung Sulang, sangat terkenal karena legennya, rasanya sangat berbeda dibanding legen legen dari desa desa lain. Rasanya manis, tanpa rasa kecut, bening, kandungan gas tidak begitu banyak, sehingga disenangi oleh masyarakat. Tetapi, legen dari desa ini tidak bisa dibuat gula cetakan, sehingga masyarakat hanya menjual legen saja .
Menurut Nurohman salah satu penjual legen dari desa Tanjung Sulang, lebih baik menjual legen, daripada gula cetakan. Karena keuntungan lebih cepat dan tidak beresiko. Menurutnya, dalam sehari dia kadang bisa menjual 50 bumbung. Setiap pagi dia mengambil dari atas pohon, terjual hampir 30 bumbung, dan sore mengambil lagi, terjual 20 bumbung bahkan lebih. Setiap 2 bumbung =1 botol aqua besar ukuran 1,5 L, dijual Rp 4000 / botol, jadi sehari bisa mendapatkan Rp 100.000. Tetapi bila masih ada sisa , akan dimasak untuk dijual lain waktu, supaya tidak berubah rasa dan warnanya. Nurohman berulang kali memasak legen ini, ternyata benar benar tidak bisa dibuat gula kemplongan/cetakan, tetapi hanya bisa dibuat gula encer atau juroh. Hal itu juga dibenarkan oleh penjual legen yang lain di daerah tersebut. Menurut legenda dikisahkan, ada orang tua renta berjalan di tegalan yang ditumbuhi banyak sekali pohon siwalan. Dia kehausan, minta seteguk minuman legen kepada seorang petani yang dijumpai disitu.Tetapi petani tesebut menolak untuk memberikan minuman legen. Dan orang tua tersebut berkata bahwa legen ini manis tetapi tidak bisa dibuat gula. Orang tua tadi mengatakan janganlah menjadi orang yang kikir, pelit tetapi jadilah orang murah hati, senang bersodaqoh dan tidak membeda bedakan kepada sesama. Tanpa disadari, ketika petani itu pulang ke rumah, dengan kaget dan bingung melihat legen yang diambilnya tidak bisa dibuat gula dan sampai sekarang legen dari desa Tanjung dan sekitarnya, tidak bisa dibuat gula cetakan. Santoso

Tidak ada komentar: