Minggu, 30 Agustus 2009

Manguin, Arkeolog Maritim Asia

Manguin, Arkeolog Maritim Asia
Di mata Profesor Pierre-Yves Manguin (64), sebuah bongkahan papan kapal atau perahu dapat berkisah tentang sejarah maritim suatu kerajaan atau negara. Bongkahan itu juga mampu mengukur sejauh mana kualitas cipta, karya, dan rasa, sebuah bangsa bertumbuh dan berkembang mempertahankan hidup menjelajah pulau-pulau.
Di Desa Punjulharjo, Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Rabu (24/6), Manguin, arkeolog maritim asal Perancis, membuktikan pernyataannya itu. Bersama Balai Arkeologi (Balar) Yogyakarta, Manguin meneliti perahu kuno yang ditemukan di lahan tambak warga yang berjarak sekitar satu kilometer dari pantai.
Berdasarkan teknologi pembuatan perahu, Manguin mengatakan perahu itu berasal dari zaman peralihan Kerajaan Mataram Kuno ke Sriwijaya, 670 Masehi -780 Masehi. Teknologi pembuatannya masih sederhana, yaitu menggunakan tambuktu atau balok tempat pasak yang diperkuat dengan ikatan tali ijuk.
“Meski begitu, perahu selebar empat meter dan sepanjang 15,60 meter itu mampu mengarungi pulau-pulau. Perahu Punjulharjo merupakan jenis perahu perdagangan,” kata Manguin. Melalui perahu atau kapal itulah sebuah bangsa melepas belenggu isolasi samudera, membuka komunikasi, dan berinteraksi dengan bangsa lain. Mereka saling bertukar pengetahuan, barang, budaya, dan pangan.
Melalui perahu dan kapal, sebuah bangsa membangun politik dan ekonomi maritim. Mereka mengembangkan kekuasaan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perdagangan dan aneka hasil laut.”Di bumi Nusantara, Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit telah membuktikan keberhasilan politik dan ekonomi maritim yang dipadukan dengan ekonomi berbasis agraris,” ujar Manguin.
Pierre-Yves Manguin lahir di Portugis, 30 Juni 1945. Ia berasal dari keluarga Perancis yang tinggal di Portugis. Ayahnya yang bekerja sebagai pengusaha ban Michelin bernama Henri Manguin, sedang ibunya, Antoinette Manguin.
Sejak kecil hingga tamat Lycee francais Lisboa atau sekolah lanjutan tingkat atas bagi anak-anak Perancis, Manguin menghabiskan waktu di Portugis. Setiap kali ada waktu senggang, ia pergi bersiar dengan kapal pesiar milik milik ayahnya.
Ia juga kerap mengun-jungi galangan-galangan kapal tradisional di Portugis. Waktu itu, ia sempat belajar membuat perahu berbahan baku kayu sepanjang 6-13 meter. Ketika pindah ke Perancis, Manguin tetap meneruskan kebiasaan itu. Pantai barat Perancis dan galangan perahu di sekitar pantai itu menjadi salah satu bagian hidupnya.
Manguin mulai tertarik dengan Asia ketika perang Vietnam sedang berkecamuk. Media massa banyak menyiarkan berita-berita tentang Vietnam. Aneka macam buku tentang Vietnam juga mudah didapat.
Menurut Manguin, yang menarik dari Vietnam adalah kehidupan masyarakatnya, terutama mereka yang tinggal di sepanjang daerah aliran Sungai Mekong.
Untuk itu, pada 1965, Manguin meninggalkan jurusan kimia dan beralih ke jurusan bahasa di Langues’O, Paris. Di perguruan tinggi bahasa itu, ia belajar bahasa Vietnam, Melayu, dan Jepang. Bersamaan dengan itu, Manguin belajar tentang sejarah antropologi Asia Tenggara di Sorbonne. Namun, ia belum juga mempunyai kesempatan mengunjungi Vietnam.
Pada 1970, setelah merampungkan S2 dan S3 bahasa dan sejarah maritim, Manguin bergabung dengan Ecole francaise d’Extreme-Orient (EFEO). Di lembaga pusat studi Perancis-Asia itu, ia memperdalam pengetahuan tentang sejarah maritim dan perahu tradisional.
Manguin sempat mengunjungi kawasan pesisir di Indonesia dan Malaysia. Setiap kali menemukan industri galangan kapal di kawasan itu, ia selalu mempe-lajari teknik pembuatan perahu.
Manguin mengenal Indonesia pada 1977. Waktu itu, EFEO bekerja sama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional membuka cabang EFEO di Indonesia. Pada 1981, mereka menggarap program penelitian perahu Bukit Jakas di Pulau Bintan.
Manguin mengatakan waktu itu tim peneliti hanya mendapat bongkahan-bongkahan perahu. Dari tek-nologi pembuatannya, perahu itu buatan abad XVI dan ada pengaruh China. Penyambung papan menggunakan pasak dan paku besi, tidak lagi menggunakan tali ijuk.
Delapan tahun kemudian, Manguin bersama Profesor Wolters, pakar Sriwijaya Universitas Cornel, mengadakan penelitian di situs Sriwijaya, Palembang. Ia meneliti sebuah kolam di Bukit Seguntang dan sempadan Sungai Musi di bawah Jembatan Ampera.
Di kolam Bukit Seguntang, ia menemukan bongkahan-bongkahan perahu Sriwijaya. Perahu dari abad V itu menggunakan teknik tambuku dan ikatan tali ijuk. Adapun di sempadan Sungai Musi, ia menemukan sisa-sisa kampung rakit.
Perahu itulah yang menjadi bukti pertama keberadaan perahu Nusantara yang pernah disebut-sebut pendeta Budha yang pernah berkunjung ke Sriwijaya. Dalam sebuah literatur abad VIII, pendeta itu menyatakan perahu papan yang diikat dengan tali ijuk, bertiang tiga, lain dari perahu China, panjangya sekitar 40 meter, dan muat 500 orang.
“Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat perdagangan dan negara maritim. Sriwijaya memperluas kekuasaan hingga Asia Tenggara dan pernah berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil dengan kapal,” kata Manguin.
Selain itu, Manguin menemukan situs Kota China dan bongkahan perahu abad XI-XII di Medan dan galangan perahu tradisional serta kemudi perahu abad VII di Sambirejo, Palembang. Pada 1996-2002, Manguin mengadakan penelitian di situs Oc Eo (dahulu negara Funan), di Ho Chi Min, Vietnam. Ia menemukan kota kuno, candi, dan kanal, di delta Sungai Mekong.
Pada 2006, Manguin bersama Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional meneliti situs Batujaya, di daerah aliran Sungai Citarum, Kerawang, Jawa Barat. Di dalam makam masyarakat Buni, ia menemukan pecahan tembikar sezaman dengan Kerajaan Tarumanegara, abad I - X.
“Temuan itu membuktikan bahwa sebelum zaman Sriwijaya warga Nusantara sudah melakukan kontak dengan India melalui hubungan laut,” kata Manguin. :-) Antok

Tidak ada komentar: