Minggu, 30 Agustus 2009

Qaryah Thayyibah, Sekolah Kampung Yang Tidak Kampungan


Catatan Ali Shodiqin
SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah, Sekolah Kampung yang Tidak Kampungan
Sebelum berangkat ke Salatiga, yang ada di benak penulis adalah rasa penasaran. Kebetulan penulis pernah berangan-angan ingin melihat langsung SLTP Qaryah Thayyibah (Q-tha) karena sering menjumpai berita tentang mereka.
Penulis juga mendapat informasi dari rekaman liputan televisi. Siswa Q-tha tidak terikat oleh peraturan sebagaimana sekolah. Tidak wajib memakai seragam. Iurannya hanya Rp.10.000/bulan. Boleh memilih pelajaran yang disu-kai. Belajar seperti di rumah sendiri, semacam hoom schooling. Jika jenuh dengan pelajaran tertentu, boleh usul untuk mengganti kegiatan lain. Intinya anak-anak belajar dengan enjoy dan menyenangkan. Berangkat sekolah jam 08.00 pagi, pulang jam 00.11 WIB. Setiap pagi di Q-tha mengawali pelajaran dengan ngobrol memakai bahasa Inggris. Sepulang sekolah antar siswa bisa atur kesepakatan untuk belajar ekstrakurikuler, entah itu olahraga, musik, menulis atau internetan yang bisa diakses gratis 24 jam. Mereka boleh ikut UN boleh tidak. Ada juga program yang cukup unik dan harus dilakukan, yaitu ngobrol bareng-bareng. Ngobrol apa saja, antar siswa atau siswa dengan guru. Walaupun mereka bebas merdeka, ternyata nilai ujian nasional mereka sangat baik.
Bikin penasaran saja.
Ketika saya dan rombongan sampai di kompleks Q-tha, nuansa desa sangat kental. Sepi. Suasana seperti kampus yang ramai seperti yang saya bayangkan sebelumnya sirna. Hanya ada sebuah gedung tingkat 3 yang berdiri di antara rumah warga dan sebuah masjid desa. Tampak anak-anak remaja pada sibuk ngobrol di teras. Rupanya pembelajaran sudah selesai, anak-anak sudah pada pulang. Menilik gedungnya yang be-lum sempurna, tidak menam-pakkan Q-tha sebagai sekolah yang menjadi buah bibir.
Rombongan langsung diterima pengurus Q-tha dan beberapa pejabat dari Pemkab Salatiga. Di aula Q-tha rom-bongan dipertontonkan re-kaman terbaru tentang Q-tha. Setelah itu diskusi panjang yang melelahkan dengan Ahmad, salah satu guru yang bertugas sebagai mediator sekaligus tutor. Guru lain juga menimpali yang intinya, Q-tha adalah sekolah biasa, sekolah masyarakat sejenis KBM yang mengedepankan kebebasan berkreativitas.
Usai diskusi rombongan di-persilahkan melihat-lihat lang-sung ke lokasi. Saya dan Chafid, teman dari Humas mencoba mencari-cari di mana saja lokasi belajar Q-tha yang berdiri sejak 2003 ini. Saya tidak menemukan sebuah lokasi sekolah yang luas dengan murid yang semula 12 anak menjadi 100-an siswa. Saya hanya menemukan satu kelas kosong karena siswanya sudah pada pulang. Sebuah kelas yang memanfaatkan ruangan milik Bahrudin, kepala sekolah. Saya baru ingat, bukankah kelas siswa Q-tha bisa di mana saja? Bisa di aula, di rumah warga, di lapangan, di kebun, dll.
Saya coba naik ke lantai dua. Di sana ada dua anak Ahadi dan Gilang namanya. Keduanya tengah sibuk berlatih musik. Ketika saya tanya kepada Gilang, apa dia suka pelajaran matematika?
“Tidak. Saya lebih suka Komputer, bahasa Inggris dan musik.”
Saya berpikir, mereka rata-rata jago matematika, ternyata tidak. Kebebasan memilih pelajaran yang mereka mampu dan disenangi adalah hak mereka.
Gilang anak Kebumen kelas 2 SMP Q-tha. Di Kalibening ia kost pada warga. Gitar elektrik yang dimainkannya dibawa sendiri dari rumah. Demikian juga dengan Ahadi, alat drum komplit dibelikan orang tuanya.
Sesaat kemudian di lantai dua ‘gaduh’ oleh permainan musik mereka berdua.
Gedung Q-tha adalah pusat belajar, demikian mereka menyebut. Kelas-kelas baru bisa mereka ciptakan sesuai kesepakatan.
Agar tidak capai, lebih baik nimbrung saja ke anak-anak remaja ABG yang asyik ngobrol di teras. Di sana ada Nurul, Ula, Maia, Emi, Zulfa, Muna, Arin dan Khusnul. Rupanya mereka adalah siswa senior Q-tha.
“Mbak Maia sudah lama di sini ya... berarti sudah senior?” tanya saya pada Maia yang tampak paling vokal.
“Ya... enggak juga sih. Di sini tidak ada senior dan yunior. Tapi kalau dirunut ya... seperti kelas 2 SMA!” Jawab Maia.
“Di SMP nya ikut UN?”
“Tidak! Saya tidak perlu ujian. Kalau bisa di sini tidak ada ujian-ujian segala!” Jawab-nya tanpa ba bi bu.
Batin saya “Capek deh.....!”
Saya diam sejenak. Mikir berat, cari ide pertanyaan.
Tiba-tiba temannya nyeletuk ingin sekolah di luar negeri.
Maia pun nyerocos: “Untuk apa sekolah di luar negeri kalau pulang tidak melakukan perubahan? Lebih baik sekolah di Kalibening, tapi bisa melakukan perubahan!”
Maia dan kawan-kawannya pernah mewakili Q-tha atas permintaan Plan Indonesia untuk mendampingi anak-anak Aceh pasca Tsunami selama dua bulan. Kisah anak di Aceh ditulis menjadi sebuah buku.
Maia dan kawan-kawannya juga kru teater ‘Gedhek’ yang mereka dirikan. Mereka memiliki kemampuan macam-macam. Maia sudah menulis beberapa buku, seperti ‘Tarian Cinta’, ‘Sekolahku bukan Sekolah’. Yang lain juga menulis ‘Just For U, Ustadz’ dan ‘Pemuja Rahasia’ karya Fina Az Zahra. Ada yang lebih extrim berjudul ‘Lebih Asyik Tanpa UAN’ karya Zafika. Sementara Ula juara I Wushu tingkat Nasional. Gadis manis ini sekaligus pandai menyanyi dan sudah rekaman segala.
Siswa Q-tha sejak dini dibimbing menulis. Disamping bahasa Indonesia, juga menulis dengan bahasa Inggris. Tulisan karya siswa dipajang di mading atau di kelas masing-masing. Di antaranya ada yang memenangi lomba tingkat Kabupaten.
Bahrudin sendiri tidak menduga jika siswa-siswanya pandai menulis. Yang dilakukannya adalah memberi kesempatan mereka untuk terus berkarya. Karya-karya mereka dihargai. Salah satu cara untuk menghargai karya mereka adalah dengan memajangnya di mading atau di papan-papan dalam kelas agar dibaca orang lain.
Ada kisah menarik dari lahirnya sebuah buku. Pernah terjadi kesepakatan antar siswa SMP Q-tha kelas 3 untuk tidak ikut ujian nasional. Di tempat lain UN bikin mumet, di Q-tha hanya jadi ‘rembugan’ anak-anak ingusan. Namun tahu-tahu salah satu siswa bernama Zafika dan seorang kawannya lagi ngotot ingin ikut UN. Kenapa? Karena ia hendak mengarang buku tentang ujian nasional. Sementara seorang temannya lagi kelak ingin melanjutkan ke sekolah lain. Pilihan beda harus dihargai, begitu prinsip mereka. Maka jadilah Zafika ujian nasional. Tak lama setelah UN usai, terbitlah judul buku karya Zafika dengan judul ‘Lebih Asyik Tanpa UAN’ yang menghebohkan itu.
Saya kemudian teringat ucapan Ahmad. Menurutnya anak-anak mesti dilepas dengan dunianya, tidak boleh didikte orang dewasa. Jika didikte itu sama artinya mereka jadi foto-copy kita, sedangkan dunianya masa depan yang jelas berbeda.
Saya berpikir, mungkinkah ‘kenekatan’ insan-insan Q-tha bisa diterapkan di tempat lain? Saya tanyakan kepada kawan-kawan andaikan anaknya sekolah di Q-tha berani melepas? Rata-rata jawabnya tidak! Tapi mereka sepakat bahwa membebaskan anak-anak berpikir dan berkreativitas layak ditiru. Ketua rombongan H Muthohir berujar, kalau ada yang bisa meniru adalah KBM, bukan sekolah formal. Program sema-cam Q-tha akan bertabrakan dengan sistem sekolah formal yang sudah berjalan lama yang mengharuskan siswa lulus UN.
Ada catatan penting yang saya peroleh, bahwa belajar bisa kapan saja dan di mana, dengan cara apa saja. Apalagi Pemerintah menerima segala macam bentuk pendidikan non formal dan dianggap setara penddikan formal. Di non formal pun bisa membuka peluang luas untuk menjadi lembaga pendidikan murah namun unggulan.
Sayangnya, kualitas selalu diindetikkan dengan biaya mahal. Jika sudah dianggap demikian, komersialisasi sekolahpun dianggap sah. Akibatnya banyak anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah karena biayanya mahal, meski hanya sekolah biasa.
Pendidikan bermutu itu mahal, sebuah persepsi yang tidak selalu benar. Di tengah maraknya sekolah mahal, Q-tha seakan ingin menunjukkan inilah sekolahku, inilah rumahku. Pendidikan altenatif Qaryah Thayyibah murah, tapi bukan murahan. Qaryah Thayyibah memang di kampung, tapi jelas mereka bukan kampungan. Mereka sangat bonafid dan maju. Nah, KBM ala Qaryah Thayyibah bisa menjadi alternatif. Bagaimana menurut Anda? :-)

Tidak ada komentar: