Minggu, 30 Agustus 2009

Saling Jatuh Cinta Gara-Gara Gerabah

Saling Jatuh Cinta Gara-Gara Gerabah
Pasangan suami istri lansia yang kian uzur, Ratiban (62 th) dan istrinya Kasmi (58 th) sepanjang hidupnya hanya mengenal satu pekerjaan saja, membuat kuali dan jabah (grabah ukuran lebih besar sedikit dibanding kuali). Saat pagi datang dan mata mulai terbuka, mereka tanpa merasa bosan mengerjakan pesanan kuali dan jabah yang harus diselesaikan secepatnya untuk selanjutnya mengerjakan order pesanan dari para pelanggan.
Saat Ratiban ditanya mulai kapan akrab dengan grabah jenis kuali dan jabah, dia menjawab sejak berusia 10 tahun telah terlibat langsung berproduksi, meski saat itu sebatas membantu orang tuanya mengambilkan tanah lempung dari sawah. “Anake tiyang boten gadhah, boten sekolah nopo. Ngewangi pak kalih mak mendet lempung saking sabin, didamel kuali kalih jabah,”terangnya dalam bahasa Jawa medhok.
Seiring meningkat usianya, dia diberi pelajaran terlibat langsung memproduksi barang gerabah tersebut. Mulanya merasa sulit namun lambat laun terbiasa, dan di kemudian hari justru menjadi kehliannya. “Kulo angsal mbok wedok nggeeeh mergo kiyambake kesengesem kepinteran kulo ndamel kuali kalih jabah,” tutur Ratiban dengan bangga.
Kasmi sendiri tidak menampik penjelasan suaminya. Menurutnya kepiawaian Ratiban membuat kuali dan jabah membuatnya tertarik sehingga mau saja ketika dilamar Ratiban untuk menjadi istrinya. “Bapake jago ndamel grabah. Wekdal semanten tiyang estri seneng menawi dipek bojo tiyang sing pinter ndamel kuali kalih jabah,”ujar Kasmi tanpa malu-malu.

Tinggal segelintir
Menurut Ratiban, sekitar 40 tahun silam di kawasan kelurahan Sidowayah terkenal sebagai sentra kerajinan gerabah. Ada yang memproduksi kuali, jabah dan jun. Bahkan hampir 75 % warga berprofesi sebagai perajin gerabah. “Waah nggeeh kathah rumiyin sing ndamel gerabah. Jaler, estri jumlahe atusan,’terangnya.
Ayah enam anak bercucu 15 itu lebih lanjut menyebutkan saat ini hanya tinggal segelintir saja yangmasih bertahan memproduksi gerabah. Sebagian perempuan setenmpat menikah dan mengikuti suaminya pindah ke luar kota, sedangkan yang laki-laki alih profesi sebagai nelayan atau tukang batu. “Sami boten kiat, sepi boten wonten pesenan, terus sami merdamel sanes,’kilah Ratiban.
Kasmi sendiri menambahkan, dahulu banyak menerima pesanan kuali sdari warga Tasikagung, Jarakan, kabongan, Pasarbaggi dan Punjulharjo. Namun lambat laun nampaknya banyak pemindang ikan yang beralih profesi sehingga berimbas pada perajin gerabah. “Kuali niku kangge mindang iwak cilik-cilik, lha jabah kangge mindang tongkol. Rumiyin kathah sing pesen duko sak niki kok sepi,”keluhnya.

Hanya cukup untuk bertahan hidup
Berbeda dengan dahulu manakala pesanan datang selalu tanpa putus. Kini dalam satu uklan paling banyak pasangan suami istri lansia itu hanya menerima sekitar 500 potong saja dengan harga jual per potong dibandrol Rp 1.000 Mereka membatasi paling sedikit menerima pesanan 100 potong agar tidak terlalu merugi.
Membuat pesanan 100 kuali atau jabah sedikitnya membutuhkan waktu 5 hari, dilanjutkan membakarnya selama setengah hari. Setelah dingin baru dibersihkan dari abu dan sisa pembakaran, baru selanjutnya dikirim kepada pemesan. “Pesenan satus ndamele nggeeeh diluwihi, njagani nek onten sing pecah. Paling boten mbakare ditambah telung puluh iji,”tukas Ratiban.
Pendapatan bersih memenuhi pesanan 100 potong menurut Ratiban dan Kasmi, hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk membakarnya butuh kayu bakar sebanyak 25 ikat seharga Rp 1.000 atau dikeluarkan uang Rp 25.000, membutuhkan jerami 1 ikat seharga Rp 15.000 dan grajen satu karung seharga Rp 25.000. Total mereka harus mengeluarkan dana sejumlah Rp 65.000 belum termasuk pengeluaran sehari-hari selama mengerjakan pesanan tersebut.
Ketika penulis bertanya kepada ke-duanya apakah tidak terbersit pemikiran mengerjakan selain kuali dan jabah, keduanya menyahut dengan kompak “Ajeng nopo maleh, sagete nggeeh ndamel kuali kalih jabah.” :-) Antok

Tidak ada komentar: