
“Memanfaatkan Lahan Tidur Untuk Menggugah Pola Pikir Yang Tidur”
Judul di atas sengaja penulis pilih sebagai penghargan kepada sosok yang di usia tergolong muda mampu mendiri, bahkan melibatkan puluhan warga sekitar menjadi tenaga kerja ikut mengelola usahanya yang mungkin di mata orang lain terlihat sepele, membudidayakan ketela pohon untuk diproduksi menjadi gaplek. Filosofinya memanfaatkan ‘lahan tidur’ ternyata mampu menggugah pola pikir masyarakat yang ternyata selama ini ikut ‘tertidur’.
Abdullah Zamzami, anak kedua pasangan Yahya dan Kowasi’ah, warga desa Bangunrejo, kecamatan Pamotan, semula juga tidak akan menyangka apabila rasa ingin tahunya yang berlebihan semenjak kecil justru memberikan arti bagi kehidupannya sekarang. Ketika setahun silam Zam (nama panggilannya) usai lepas SMA sering bertanya kesana kemari seputar apa yang buisa dikerajakan sesuai kemampuannya bidang pertanian yang diwarisinya dari orang tuanya.
Saat pabrik gula mini milik pemkab Rembang dikunjungi dirjen pertanian setahun silam, dia mendengar bahwa di pabrik tersebut juga akan mengembangkan bio etanol berbahan baku ketela pohon. Terbetiklah pikiran dia akan membudidayakan ketela pohon untuk memasok kebutuhan pabrik. Teman-temanya yang tinggal di Pati, selama ini telah terjun budidaya ketela pohon segera dikontak, diajak berdiskusi atas keinginannya menanam ketela pohon.
Dari pembicaraan dengan beberapa teman akhuirnya mereka sepakat membudidayakan tanaman berumbi tersebut, hanya saja giliran kini mereka bingung karena tidak memilki lahan sendiri. Sam-pun lantas hunting lokasi untuk media tanam. Akhirnya dari beberapa informasi yang diterimanya, bahwa banyak lahan kawasan KPH Kebonharjo yang belum dimanfaatkan. Akhirnya muncul keberaniannya mendatangi Adm KPH Mantingan, mengajukan proposal sewa pakai lahan untuk budidaya tanaman ketela.
Adm KPH Mantingan, Ibrahim yang menjabat waktu itu, begitu mengetahui gigihnya semangat seorang pemuda berusia 20 tahun, segera meluluskan proposal, dilanjutkan pembahasan seputar sewa lahan. Akhirnya disepakati harga sewa Rp 200 ribu/hektar untuk masa tanam 3 kali. Total lahan yang disewa pinjam untuk media tanam seluas 50 hektar lebih, berada di kawasan Lodan kecamatan Sarang.
Zam lantas mengumpulkan teman-temannya membicarakan masalah permodalan. Hasil pertemuan akhirnya dipastikan mereka ber-6 secara patungan mngumpulkan dana masing-masing tiotal mencapai Rp 225 juta. Pada kesempatan tersebut juga dibahas pembaguian keuntungan disesuaikan proporsi modal yang digabung.
Januari 2009, saat para kawula muda tidur lelap usai menghabiskan malam panjang memperingati tahun baru, Zam dan 5 rekan serta puluhan tenaga kerja pria dari desa sekitar Lodan mulai menggarap area yang akan digunakan menanam ketela pohon. Sekitar seminggu bekerja keras akhirnya lahan siap ditanami. Masih mengajak warga sekitar mulailah mereka beramai-ramai menanam ketela pohon.
Diterangkan oleh pemuda yang kini duduk di semester 3 jurusan Manajemen Industri STIE YYPI Rembang itu, masa tanam berkisar 8 bulan. “Terhitung kita menanam pada bulan januari, maka panen dilakukan bulan Agustus,”jelasnya.
Berbinar-binar mata Zam dan 5 rekannya saat masuk bulan Agustus. Dari sampling satu hektar saat panen, diketahui diperoleh 18 ton. Sdengkan total biaya yang dikeluarkan per hektar mulai menggarap, merawat, memupuk hingga tenaga panen serta angkut sudah mereka perhitungkan mencapai Rp 6,5 juta. “Keuntungan membayang di depan mata kami,”ujarnya.
Namun apa mau dikata, proyek bio etanol ternyata tertunda sehingga akhirnya mereka kelimpungan mencari calon pembeli. Bahkan yang menyesakkan dada, harga pasaran ketela pohon setahun silam Rp 1000/kg ternyata saat mereka panen anjlok hanya berkisar Rp 400. “ini jelas membuat kami kelimpungan,”ucap Zam dengan nada sedih.
Beruntung dari salah satu kenalan mereka akhirnya dipertemukan dengan salah satu pengusaha exportir gaplek dari Surabaya, Jawa timur. Hanya saja pengusaha tersebut bersedias membeli apabila ketela berwujud irisan/rajangan tanpa membuang kulit. “Pengusaha yang nama dan perusahaannya minta dirahsaiakan itu sanggup membeli berapapun banyaknya gaplek zebra (istilah si pengusaha menyebut gaplek berkulit-red). Harganyapun cukup menggiurkan dibeli Rp 1.000 per kilonya,”cetus Zam.
Akhirnya permintaan tersebut dipenuhi dan dilanjutkan dibuat koontrak beli. Pengusaha mengikat perjanjian per bulan membeli 50 ton gaplek sesuai harga yang tercantum dalam surat perjanjian. Perubahan harga di pasaran bulan berikutnya juga disanggupi oleh si pengusaha agar ke-duanya tidak merasa rugi. “Ya apa boleh buat. Daripada terbuang sia-sia maka kami penuhi saja perjanjian kontrak itu. Penyusutan ketala pohon basah yang dirajang menjadi gaplek dan dikeringkan mencapai 30 %. Jadi dari 1 ton ketela pohon, saat menjadi gaplek sekitar 700 kilo saja,”ungka Zam.
Nasib baik berpihak pada mereka, ketika hasil panen ratusan ton terdengar para pemilik petrernakan yang kembali juga berasal dari Jawa timur. Mereka sanggup melakukan aksi borong ketela pohon, berapapun yang dipoanen. Zamzami dan 5 rekannya akhirnya menyatakan bersedia dengan catatan harga beli seharga Rp 700. Nampaknya permasalahn harga tidak diperhatikan oleh para pemilik peternakan, mereka menyanggupi bahkan juga membuat perjanjian mengikat kontrak pembelian. “Ini benar-benar anugerah yang kita bersama syukuri. Ternyata Allah memberikan jalan yang tak terduga. Semangat kami tumbuh lagi,”kilahnya.
Dari estimasi hasil penjualan gaplek dan ketela pohon, mereka ber-enam kemudian menyusun kembali perencanaan. Dari ingin menikmati seluruh hasil usaha yang sempat membuat mereka was-was, kemudian muncul ide memperluas arena budidaya ketela pohon pada musim tanam tahun depan. Selain keuntungan yang sudah tergambar akan diraup, mereka juga berpikir dengan menambah arena tanam tentu akan makin banyak melibatkan tenaga kerja, sehingga saat musim kemarau tiba banyak tenaga kerja yang terserap.
“Akhirnya kami memutuskan lanjutkan......Insya Allah tahun depan akan menambah lahan seluas 30 hektar. Selain berpikir keuntungan, kami juga ingin agar warga tidak kebingungan manakala musim kemarau tiba. Saat lahan pertanian kering, mereka bisa bekerja pada kami. Merawat, memanen dan merajang ketela pohon untuk dibuat gaplek,”ucap Zam tanpa nada menyombongkan diri.
Menutup petemuan, Zamzami didampingi orang tuanya menyebutkan prinsip hidup yang sejak kecil ditanamakan kepada dia dan 2 saudaranya. “Hidup mandiri, sebisa mungkin jangan bekerja pada orang lain karena kita justru harus mampu mengajak orag lain bekerja pada kita,”cetus Zamzami yang dibenarkan dua orang tuanya.
Keinginan luhur untuk membangkitkan pola pemikiran yang selama ini tidur, memanfaatkan lahan tidur, kini menjadi kenyataan. Kita tunggu saja apakah di Rembang akan muncul Zamzami lain yang di usia muda sudah mampu membawa nama tempat kelahirannya di percaturan dunia usaha skala menengah ke atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar